Jangan Abai, Sehat itu Soal Jiwa dan Raga! Wujudkan Madiun yang Peduli Kesehatan Mental
Madiun- Menjalani hidup di era yang serba cepat seperti sekarang ibarat berjalan di atas treadmill yang terus menambah kecepatan. Tekanan ekonomi, dinamika sosial, hingga tuntutan untuk selalu tampil sempurna di media sosial seringkali menggerus ketahanan batin kita. Dalam kondisi seperti ini, kesehatan mental bukan lagi sebuah pilihan, melainkan pondasi dasar untuk bisa menjalani hidup yang berkualitas dan produktif.
Baca Juga : Tukang Becak Tewas Dengan Luka Di Kepala Di Jalan Nias Madiun
Fakta berbicara, masalah kesehatan jiwa di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, terjadi peningkatan signifikan angka gangguan jiwa berat—dari 1,7 permil menjadi 7 permil. Dalam bahasa yang lebih sederhana, dari setiap seribu rumah tangga, diperkirakan tujuh keluarga memiliki anggota dengan gangguan jiwa. Sementara itu, gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas juga melonjak dari 6% menjadi 9,8%. Angka-angka ini adalah lampu kuning yang tak boleh kita abaikan bersama.
Kondisi di Kota Madiun: Sebuah Cerminan yang Perlu Perhatian Kita
Kota Madiun sendiri tidak luput dari fenomena ini. Hingga saat ini, tercatat ada antara 300 hingga 400 orang warga Madiun yang hidup dengan gangguan jiwa. Data ini bukan sekadar angka statistik, melainkan mewakili ratusan cerita, keluarga, dan potensi yang mungkin tertahan.
“Kita sering lupa bahwa sehat itu bukan hanya tentang badan yang bebas penyakit. “Kesehatan jiwa adalah benang merah yang menghubungkan semua aspek kehidupan kita. Tanpanya, kita akan sulit berfungsi optimal, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun bermasyarakat.”
Akar Masalah dan Langkah Strategis Pemkot Madiun
Lantas, apa saja yang bisa memicu gangguan pada benteng kesehatan mental kita? dr. Denik memaparkan bahwa pemicunya sangat beragam dan personal, mulai dari beban finansial, persoalan rumah tangga dan percintaan, hingga lingkungan sosial yang tidak suportif dan penuh tekanan.
Menghadapi tantangan ini, Pemerintah Kota Madiun melalui Dinkes PP&KB tidak tinggal diam. Strategi yang diusung berfokus pada pencegahan (preventif) dan peningkatan kesadaran (promotif). Berbagai inisiatif digulirkan, seperti menyediakan layanan cek kesehatan gratis dan skrining kesehatan jiwa yang diintegrasikan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Pendekatan ini bertujuan untuk mendeteksi masalah sedini mungkin, sebelum berkembang menjadi lebih parah.
Untuk kasus yang sudah teridentifikasi berat, Pemkot memiliki tim pendamping khusus yang siap turun ke lapangan. Namun, dr. Denik menekankan bahwa peran keluarga tidak kalah pentingnya. “Proses pemulihan tidak berhenti di rumah sakit. Keluarga adalah support system utama. Peran, pengertian, dan kasih sayang dari keluarga adalah obat yang sangat powerful untuk menjaga kondisi penderita tetap stabil,” ujarnya.
Melawan Stigma: Tantangan Terbesar yang Harus Kita Kalahkan Bersama
Perlakuan diskriminatif ini, alih-alih membantu, justru menjadi pisau yang memperdalam luka mereka dan menghambat proses pemulihan.
“Stigma dan diskriminasi adalah musuh terbesar dari kesehatan mental,” jelas dr. Denik. “Kami berharap masyarakat bisa lebih terbuka, berempati, dan memberikan dukungan sosial.
Kolaborasi adalah Kunci: Wujudkan Madiun yang Inklusif dan Sehat Mental
Pesan penutup dari dr. Denik mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah tanggung jawab kolektif. “Kesehatan mental bukan hanya urusan dokter dan psikolog. Ini adalah tanggung jawab kita semua. Mari kita ciptakan lingkungan yang saling mendukung, mendengarkan tanpa menghakimi, dan penuh kepedulian.”
Dengan membangun kesadaran bersama dan memupuk lingkungan inklusif, kita tidak hanya meminimalisir risiko gangguan mental, tetapi juga membangun Kota Madiun yang lebih kuat, resilien, dan manusiawi. Karena pada akhirnya, di balik jiwa yang sehat, terpancar masyarakat yang berdaya.





