Krisis Ayam! Harga Tembus Rp 40.000/kg, Pedagang di Madiun Mengalami Penurunan Omset Hingga 50%
Berita Madiun- Suasana sepi dan wajah-wajah cemas mulai menghiasi para pedagang daging ayam di pasar-pasar tradisional Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Gelombang kenaikan harga yang masif telah membuat komoditas yang biasanya laris manis ini berubah menjadi barang mewah, dengan harga mencapai Rp 40.000 kg.

Baca Juga : Reshuffle Kabinet Erick Thohir Dikabarkan Akan Gantikan Dito Ariotedjo sebagai Menpora
Kenaikan yang terjadi secara signifikan dalam sepekan terakhir ini tidak hanya membuat konsumen mengerutkan kening, tetapi juga memukul telak pendapatan para pedagang. Banyak dari mereka yang mengeluhkan omset penjualan yang anjlok hingga separuhnya, mengancam napas perekonomian mereka.
Cerita Pilu dari Lapak: Omset Anjlok, Pembeli Menghilang
Reza Anwar, seorang pedagang daging ayam di Pasar Caruban Baru, merasakan betul dampak kenaikan ini. Ia mengungkapkan, omset penjualannya merosot drastis hingga 50 persen dibandingkan hari-hari biasa.
“Dampaknya sangat terasa. Omset kami turun separo, bahkan lebih. Orang-orang sekarang sangat berpikir dua kali untuk membeli ayam dengan harga setinggi ini. Yang masih beli biasanya hanya untuk keperluan mendesak, seperti hajatan atau acara-acara khusus,” keluh Reza sambil menata kembali dagangannya yang masih banyak tersisa.
Menurut Reza, harga normal daging ayam seharusnya berada di kisaran Rp 30.000 per kilogram. Namun, sejak sepekan lalu, harganya terus merangkak naik secara perlahan namun pasti. Setiap harinya, ia harus merevisi label harga dengan kenaikan Rp 1.000 hingga Rp 2.000, hingga akhirnya menyentuh angka puncak Rp 40.000/kg.
Akar Masalah: Kelangkaan Pasokan dari Hulu
Lantas, apa yang memicu kenaikan ekstrem ini? Reza menduga, masalahnya berawal dari menyusutnya pasokan ayam hidup dari peternak. Kelangkaan ini menyebabkan harga ayam potong hidup (live bird) yang harus dibelinya dari supplier melambung dari biasanya Rp 20.000 per kilogram menjadi Rp 25.000 per kilogram.
“Biaya pokok kami sudah naik duluan. Mau tidak mau, kenaikan itu kami teruskan ke konsumen. Kalau tidak, kami sendiri yang akan bangkrut,” jelasnya. Fenomena ini menunjukkan betapa rentannya rantai pasokan komoditas pangan dan bagaimana guncangan di hulu dapat langsung berdampak pada Gelombang harga di tingkat konsumen.
Konsumen Beralih: Dari Ayam, Beralih ke Ikan dan Telur
Di sisi lain, konsumen pun mengambil langkah strategis untuk mengencangkan ikat pinggang. Rahayu, salah satu ibu rumah tangga yang ditemui di Pasar Caruban Baru, menyatakan keengganannya untuk membeli daging ayam di tengah harga yang masih tinggi.
“Lihat harganya saja sudah kaget. Rp 40.000 untuk satu kilogram ayam? Itu terlalu mahal untuk kantong saya. Daripada beli ayam sedikit dengan harga semahal itu, lebih baik saya mencari alternatif lain yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Rahayu kemudian memilih untuk membeli ikan dan telur sebagai pengganti protein hewani untuk lauk keluarganya. “Ikan harganya masih stabil dan lebih masuk akal. Ini pilihan yang lebih bijak untuk saat ini,” tambahnya. Pergeseran permintaan seperti ini semakin memperparah kondisi para pedagang ayam yang sudah sepi.
Dampak Berantai yang Mengkhawatirkan
Situasi ini menciptakan dampak berantai yang mengkhawatirkan. Peternak mungkin diuntungkan dengan harga jual yang lebih tinggi, namun di level pedagang dan konsumen, tekanan ekonomi justru semakin membesar. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, bukan tidak mungkin akan semakin banyak pedagang kecil yang kesulitan bertahan, dan konsumen dari kalangan menengah ke bawah akan kesulitan memenuhi kebutuhan gizi proteinnya.
Pemerintah daerah dituntut untuk segera menginvestigasi penyebab kelangkaan ini dan mencari solusi jangka pendek, seperti memastikan distribusi pasokan lancar, agar harga kebutuhan pokok masyarakat kembali stabil.